
INDONESIA boleh saja dikategorikan sebagai negara berkembang. Tapi jika menyangkut urusan orang kaya, Indonesia bagian dari yang terdepan.
Bank Dunia memperkirakan, bumi Nusantara ini akan menjadi satu dari lima negara dengan laju pertumbuhan orang kaya tertinggi di dunia pada 2017. Sebanyak 56,5 persen dari 237 juta populasi Indonesia akan masuk kategori klas menengah. Setali tiga uang, Global Wealth Report yang dilansir Credit Suisse pada 11 Oktober 2012, juga mencatat Indonesia memiliki 104 ribu orang kaya pada 2012. Pada 2017, jumlah itu diperkirakan naik menjadi 207 ribu atau tumbuh 99%. Pertumbuhan ini hanya dilampaui oleh Brasil ( 119%), Rusia ( 109%), Malaysia ( 108%) dan Polandia (105%).
Beberapa waktu lalu lembaga pemeringkat Fitch menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi investment grade. Ekonomi Indonesia yang berorientasi domestik dinilai sukses dan kuat untuk terus tumbuh. Di lain pihak pertumbuhan ekonomi yang positif sejak tahun 2000 menumbuhkan masyarakat klas menengah Indonesia. Konsumsi mereka menyumbang sedikitnya 70 persen dari pertumbuhan ekonomi.
Klas menengah, dalam definisi Bank Dunia adalah mereka yang membelanjakan uang 2 dolar AS sampai 20 dolar AS per hari. Artinya, saat ini, ada 134 juta warga klas menengah di Indonesia. Pertumbuhan klas menengah paling tinggi pada kelompok belanja per kapita 10 sampai dengan 20 dolar AS per hari. Dalam kurun waktu 2003-2010, jumlah mereka melonjak dari 0,3 persen menjadi 1,3 persen dari populasi penduduk.
Indikasi dari konsumsi masyarakat yang demikian tinggi dapat dilihat antara lain dari angka penjualan mobil maupun sepeda motor. Penjualan kendaraan roda empat mencapai 880.000 unit, meningkat dari 764.710 unit tahun 2010. Angka ini tidak jauh dari target penjualan 1 juta unit tahun 2014, yang diyakini akan tercapai 2 tahun lebih cepat. Demikian pula penjualan sepeda motor mencapai 8,1 juta unit tahun 2011, meningkat dari 7,372 juta unit tahun 2010.
Pengguna jasa penerbangan juga meningkat tajam. Januari-Oktober 2011 tercatat 41 juta penumpang memenuhi terminal bandara Soekarno-Hatta, jauh di atas kapasitas bandara yang hanya disediakan untuk 18 juta penumpang. Belum terhitung jumlah orang Indonesia yang membeli apartemen dan berobat ke luar negeri seperti Singapore. Harian Financial Times pada 24 November 2011 menurunkan berita tentang banyaknya orang kaya Indonesia yang membeli jet pribadi, Ferrari, yacht dan apartemen mewah di London.
Pertumbuhan jumlah klas menengah juga terlihat dari semakin meningkatnya nilai simpanan di bank. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) , memperlihatkan lonjakan simpanan itu, terutama simpanan dengan nilai diatas Rp 5 miliar. Jumlahnya mencapai 41,21 persen dari seluruh simpanan di bank.
Apakah Berimbas ke Asuransi?
Pertumbuhan pesat klas menengah ini tentu menggembirakan. Tapi apakah bonus demografi ini berimbas pada industri asuransi? Apakah itu pertanda bahwa konsumsi asuransi masyarakat Indonesia juga meningkat?
Sebagian mungkin ya. Produk asuransi unit link dan asuransi kesehatan, misalnya, menikmati bonanza klas menengah baru Indonesia dengan pertumbuhan rata rata masing-masing 54,34 persen dan 60 persen selama kurun waktu 2005-2009. Dalam kurun waktu yang sama asuransi kendaraan bermotor tumbuh rata-rata 17,28 persen, diatas pertumbuhan asuransi umum yaitu 15,54 persen. Majalah Sigma, Swissre (5/ 2011) melaporkan pasar asuransi emerging market Asia, tingkat global dan negara-negara industri tumbuh rata-rata masing masing 18 persen, 2.1 persen dan 1.3 persen selama kurun waktu 2001-2010.
Meski demikian, secara agregat, penetrasi asuransi dan pengeluaran asuransi per kapita Indonesia masih sangat rendah masing masing sebesar 1,9 persen PDB dan 49,7 dolar AS, dibanding penetrasi asuransi emerging market Asia yang mencapai 3, 7 persen PDB dan pengeluaran asuransi per kapita sebesar 111 dolar AS di tahun 2010. Sebagai perbandingan, Malaysia negara muslim tetangga kita dikenal sebagai pasar terbesar asuransi syariah di dunia dengan total premi 1 miliar dolar AS tahun 2010 .
Pada tahun yang sama Malaysia tercatat membukukan premi baru asuransi jiwa dari saluran distribusi bancassurance sebesar 49 persen, kedua terbesar setelah Cina yang mencapai 69 persen.
Pandangan Umum Masyarakat
Rendahnya penetrasi asuransi di Indonesia dibandingkan negara tetangga, bisa dijelaskan dengan melihat pandangan masyarakat Indonesia sendiri terhadap asuransi.
Pertama, pandangan awam yang masih banyak dijumpai pada sebagian besar masyarakat kita adalah memandang asuransi sama dengan mendoakan mati. Tidak sedikit kelompok masyarakat kita yang menganggap asuransi sama dengan menjemput kematian. Sesuatu yang tidak pasti digambarkan sebagai sesuatu yang pasti dengan keharusan membayar premi. Asuransi dalam benak masyarakat umumnya melulu berkaitan dengan jiwa. Tidak terbayang oleh sebagian masyarakat bahwa asuransi juga berarti perlindungan terhadap harta benda, kesehatan, pendapatan yang saat ini dimiliki. Bahkan asuransi dipandang sebagai mendahului kehendak Tuhan. Soal musibah yang diidentikkan dengan asuransi, dianggap sebagai takdir yang tidak bisa dihindari dan hanya dapat ditangkal dengan banyak bersedekah dan berinfak. Bukan dengan dengan membeli asuransi. Dengan semakin banyak bersedekah dan berinfak, maka semakin banyak memperoleh berkah dan rezeki sekaligus menghindarkan dari musibah. Sekalipun musibah berupa kebakaran, sakit, kehilangan harta benda datang menyergap, hal itu merupakan nasib buruk dan bukan karena kekuranghati-hatian. Sering terdengar kalau orang mengadukan nasib sialnya, ditanggapi sebagai ‘kurang sedekah’ , ‘kurang amal’ dan sebagainya.
Kedua, dalam pandangan sebagian pemuka agama Islam, asuransi dianggap haram karena mengandung gharar (ketidakjelasan) dan qimar (judi). Mereka merujuk pada Al-Quran, Hadis dan fatwa ulama, di antaranya: “Hai orang orang yang beriman , sesunggguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, (berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah) adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan . Maka jauhilah perbuatan perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan“ (QS . Al Maa-Idah 5: 90). “… Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu (QS. An Nisaa’ 4 : 29). Dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW melarang jual beli gharar (HR Muslim).
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhut Al Ilmiyah wal Ifta (Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa) Saudi Arabia menyebutkan bahwa telah dikeluarkan keputusan dari Ha’iah Kibaril Ulama (ulama-ulama besar ) tentang haramnya asuransi komersial dengan semua jenisnya karena mengandung mudharat dan bahaya besar serta merupakan tindakan memakan harta orang dengan cara yang bathil, yang mana hal tersebut telah diharamkan oleh syariat yang suci dan dilarang keras (Erwamdi Tarmizi , 2012).
Sedang fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menyatakan bahwa asuransi haji yang tidak dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang menggunakan sistim konvensional. Sedang asuransi haji yang dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip prinsip syariah. Yaitu prinsip ta’awuni (tolong menolong) antar sesama haji berdasarkan akad tabarru’ (hibah) antara jamaah haji sebagai pemberi tabarru’ dengan asuransi syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah (www. mui.or.id).
Ketiga, masyarakat awam memandang asuransi hanya bagus saat ditawarkan kepada calon nasabah yakni ketika melakukan penutupan asuransi, dengan berbagai cara melalui berbagai saluran pemasaran asuransi. Sementara saat penebusan polis atau klaim dipersulit. Asuransi dipandang sangat merepotkan saat terjadi klaim , dengan permintaan berbagai dokumen yang tidak serta-merta mudah diperoleh. Tidak sedikit sengketa asuransi berujung ke pengadilan atau melalui mediasi wasit. Tidak kurang surat pembaca dilayangkan ke surat kabar yang menyatakan kecewa dengan pelayanan asuransi. Sangat dramatis membaca kisah sejumlah nasabah yang tidak dapat menerima manfaat polis asuransi yang jatuh tempo karena perusahaan asuransi raib tak tentu rimba. Meskipun perusahaan itu menyandang nama besar kelompok usaha raksasa. Tidak banyak yang juga bisa diharapkan dari pemerintah selaku pengawas kegiatan bisnis asuransi dengan nasib nasabah yang terkatung-katung. Dalam pemeo yang sering kita dengar “lapor hilang ayam, malah kehilangan kambing” berlaku pula di dunia asuransi. Termasuk di sini adalah bahasa polis asuransi yang tidak mudah dipahami, berbelit-belit layaknya bahasa hukum dan menimbulkan multi tafsir di benak nasabah. Belum lagi dengan penggunaan huruf kecil yang tidak mudah dibaca dan hanya dibaca saat terjadi klaim.
Keempat, bagi kebanyakan praktisi asuransi, profesi asuransi bukanlah profesi yang dipilih secara sengaja, seperti impian banyak pencari kerja. Bekerja di asuransi merupakan pekerjaan yang tidak pernah diimpikan sebelumnya. Bahkan dikonotasikan pekerjaan mengumbar janji dan membujuk. Agen dinilai sebelah mata, bukan pilihan bergengsi, meskipun dengan penghasilan jauh lebih besar dari pegawai bahkan direksi asuransi sendiri. Banyaknya agen berprestasi dari jenis wanita seperti menegaskan bahwa orang membeli asuransi karena tertarik pada penampilan penjual asuransi, bukan karena produk yang ditawarkan. Tidak sedikit praktisi asuransi berlaku tidak elok, menggelembungkan nilai klaim, menggelapkan premi, mengabaikan etika dan kejujuran, termasuk menyangsikan kejujuran nasabah sendiri. Dengan memberlakukan berbagai syarat yang bertendensi mengulur-ulur penyelesaian klaim yang berujung pada penolakan klaim.
Kelima, asuransi merupakan produk tidak berwujud yang sulit dirasakan manfaatnya dan tidak diharapkan terjadi utamanya asuransi benda dan kesehatan. Asuransi dianggap pengeluaran yang sia-sia. Membeli asuransi hanya karena sekadar memenuhi persyaratan, baik karena persyaratan mengajukan kredit bank, maupun persyaratan lain seperti angkutan udara, pengiriman tenaga kerja. Bahkan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diamanatkan Undang-undang nomor 40 tahun 2004 agar dilaksanakan paling lambat tahun 2009, lalai dilaksanakan pemerintah hingga menimbulkan gelombang demonstrasi para buruh dan tuntutan citizen law suit di pengadilan.
Pasca lahirnya UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ada sedikit rasa lega karena jaminan kesehatan yang akan dikelola BPJS Kesehatan akan mulai direalisasikan untuk seluruh rakyat selambat-lambatnya 1 Januari 2014. Sayangnya, pemerintah kemudian justru terkesan memperlambat beroperasinya BPJS Kesehatan. Diindikasikan dengan lambannya penuntasan sejumlah regulasi terkait beroperasinya BPJS Kesehatan. Melalui pidato kenegaraan 16 Agustus 2012, Presiden SBY justru menyatakan hal yang bertentangan dengan UU terkait implementasi jaminan kesehatan. Menurut Kepala Negara jaminan kesehatan baru akan diberikan selambat-lambatnya tahun 2019, sementara perintah UU paling lambat 1 Januari 2014 (Said Iqbal, Kompas , 6/10/2012 ).
Tantangan di Kelas Menengah
Dengan gambaran seperti itu, prospek industri asuransi di Indonesia tampaknya memang serba buram, menimbulkan pesimistis. Masyarakat Indonesia tetap memandang asuransi bukanlah pilihan yang harus diprioritaskan untuk dibeli.
Meski demikian, tetap menarik untuk ditelisik lebih lanjut, apakah klas menengah Indonesia saat ini juga memiliki pandangan serupa. Terutama jika mengingat bahwa klas menengah memiliki kemampuan untuk mengakses informasi secara luas. Klas menengah juga memiliki mobilitas yang tinggi – tidak dibatasi oleh jarak geografis. Mereka mempelajari bahkan mengadopsi kebiasaan-kebiasaan dari belahan dunia lain jika itu dinilai positif. Para orang kaya ini berkunjung ke negara-negara maju, seperti layaknya naik-turun tangga.
Akses terhadap informasi dan tingkat mobilitas yang tinggi dibandingkan masyarakat klas bawah, memunculkan harapan bahwa penetrasi asuransi bisa ditingkatkan di klas menengah, seperti yang dijumpai di negara maju. Kendati demikian, untuk mewujudkan konsumsi tersebut, ada hal yang tidak kalah krusial di kalangan klas menengah. Karena secara ekonomi mereka sangat memadai, dan tingkat pengetahuannya tentang industri keuangan relatif baik, mereka pun terkenal sangat kritis dan memiliki tuntutan yang tinggi dalam hal kualitas produk dan layanan. Jauh lebih tinggi dibanding klas bawah.
Pertanyaannya, siapkah pelaku industri asuransi menjawab tuntutan itu? Atau, jangan-jangan klas menengah ini hanya akan menjadi ‘makanan empuk’ bagi pelaku asuransi di negara tetangga yang jauh lebih siap?
Pelaku industri asuransi Indonesia memang masih harus mendaki jalan terjal yang berliku untuk menikmati bonus demografi penduduk berusia produktif dengan pendapatan tinggi ini. Jika tak mampu berbenah, maka pelaku suransi hanya akan jadi penonton bagi masyarakat klas menengah yang sangat konsumtif dengan produk-produk yang lebih mencerminkan gaya hidup ini ketimbang mengkonsumsi produk investasi dan proteksi yang memberi kepastian masa depan.***
(Dari Buku “Asuransi Buat Apa, Mari Berdamai dengan Risiko”, Diterbitkan KUPASI – Gagas Bisnis Indonesia, 2012)
Lahir di Semarang, 12 Juli 1956. Sarjana Ekonomi jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 1992. Sarjana Magister Manajemen U rsitas Gajah Mada Yogjakarta tahun 2007. 41 tahun berkarir di bidang asuransi, diantaranya pernah menjabat sebagai Risk Monitoring Committee Sompo Insurance Indonesia ( 2016-2018 ), Komisaris Independen Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, Komisaris Utama L & G Risk Services ( 2006 – sekarang ). Senior Partner pada PT. KIS Aktuaria (2008 – 2012). Direktur Utama PT. Estika Jasa Tama (1996-1998), Direktur Asuransi Jasindo (2001), dan Direktur PT. Pertani Persero (2003 -2007). Ketua DPP Syarikat Islam, Pengurus KADIN Indonesia, Pengurus Cisanggiri Syndicate, Pendiri KUPASI , menulis dan editor sejumlah buku, kolumnis dan narasumber media cetak nasional, online dan media elektronik terkait isu-isu terkini perasuransian.
No Comments