PERKEMBANGAN Asuransi di Indonesia , baik yang umum ataupun jiwa, tidak terlepas dari kinerja faktor fundamental perekonomian. Indonesia merupakan satu dari sedikit negara yang mampu terlepas dari dua krisis besar, yaitu krisis moneter di akhir tahun 1990-an dan krisis keuangan dunia pada 2008 yang lalu. Seperti kita ketahui Indonesia pernah mengalami situasi yang sangat sulit dimana dalam satu dasawarsa telah terjadi krisis yang bersamaan yaitu krisis ekonomi moneter yang bermuara pada krisis politik di akhir tahun 1990an. Yang menarik adalah tahun 2008, ketika dunia dilanda krisis keuangan global, Indonesia justru menutup tahun tersebut dengan pertumbuhan ekonomi yang lumayan. Banyak pengamat menilai kebijakan fiskal dan moneter yang prudent menjadi penyebab Indonesia terlepas dari krisis keuangan dunia di tahun 2008.
Mengakhiri tahun 2011 atau tepatnya pada Oktober 2011, Indonesia memperoleh kado istimewa berupa peningkatan rating dari beberapa lembaga pemeringkat ekonomi dan keuangan dunia. Semula oleh Japan Rating Agency (JRA) kemudian diiukuti oleh masing-masing Fitch dan Moody’s yang telah mengelompokkan Indonesia ke dalam kelompok negara layak investasi ( “investment grade”) dengan peringkat atau setara BBB- (Fitch) dan Baa3 (Moody’s) dengan outlook stable.
Asuransi Jiwa Lebih Agresif
Perkembangan signifikan dari kedua segmen Industri asuransi di Indonesia , baik asuransi jiwa maupun umum (kerugian), secara jelas terlihat dari kinerja industri ini sepanjang 5 tahun terakhir. Pertumbuhan premi meningkat kurang-lebih dua kali lipat, dari Rp.45,53 triliun (2007) menjadi Rp. 85 triliun (2011) pada asuransi jiwa, dan dari Rp. 19,07 triliun (2007) menjadi Rp.35 triliun (2011) pada asuransi umum.
Khusus di tahun 2011 industri asuransi di Indonesia mencatat pertumbuhan di atas 20%, kecuali pertumbuhan reasuransi. Laju pertumbuhan asuransi jiwa mencapai 26,02%, asuransi umum mencatat pertumbuhan 20,04% sedangkan reasuransi mencatat pertumbuhan 17,65%. Pertumbuhan ini ditopang dengan meningkatnya indikator profit untuk keiga jenis industri asuransi Jiwa, umum dan reasuransi msing masing sebesar 41,63%, 43,58% dan 23,51%.
PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG, PT Indolife dan Inhealth merupakan kelompok asuransi jiwa yang menempati klasifikasi terbaik dengan aset di atas Rp.750 milyar. Ketiga perusahaan ini dianggap mampu melakukan segala aspek transformasi dalam industri asuransi sehingga mampu mengangkat premium dan profit perusahaan. Di kelompok asuransi umum (kerugian) masih didominasi oleh PT Adira, Astra Credit Company dan Asuransi Sinarmas yang berhasil membukukan keuntungan maupun pettumbuhan asset secara siginikan pada 5 tahun terakhir.
Berdasarkan resiko, asuransi jiwa lebih agresif, sedangkan asuransi umum lebih konservatif. Asuransi umum telah terbukti lebih baik dari asuransi jiwa ketika Indonesia menghadapi krisis keuangan global (“global financial crisis”) pada tahun 2008-2009. Asuransi umum telah mampu keluar dari krisis tahun 2008, dengan mencetak laba berupa pertumbuhan gross premium sebesar 16,21% pada akhir tahun 2008. Pada tahun 2009 dan 2010, segmen asuransi umum terus tumbuh dengan perkembangan yang sangat signifikan. Perkembangan ini terus tumbuh di tahun 2011, dimana premi asuransi jiwa dan umum telah meningkat hampir 12% dan 10% baik untuk asuransi jiwa maupun umum.
Asuransi umum adalah bisnis usaha yang sangat terkait dengan pertumbuhan yang pesat dalam industri otomotif di Indonesia. Hampir 80% pembelian kendaraan bermotor baik sepeda motor maupun mobil menggunakan produk keuangan yang melibatkan asuransi. Dalam 5 tahun terakhir penjualan kendaraan bermotor sangat pesat di Indonesia. Bila tahun tahun 2008 penjualan mobil mencapai 607.805 unit dan sedikit menurun di tahun 2009 sebesar 486.601 unit, dan kembali meningkat secara signifikan di tahun 2010 yang mencapai penjualan kendaraan sebesar 763.761 unit. Di tahun 2011, Gaikindo menyebutkan penjualan mobil baru mencapai angka 894.164 unit. Peningkatan yang sama juga terjadi pada kendaraan roda dua yang mencapai angka 8.093.635 unit di tahun 2011 dari penjualan sebelumnya sebesar 7.398.644 unit di tahun 2010. Penulis menilai seluruh penjualan baik kendaraan bermotor roda dua dan empat ini sekurangnya 80% menggunakan jasa keuangan asuransi.
Membaiknya posisi Indonesia dalam percaturan politik maupun ekonomi dunia ditambah pengakuan serta apresiasi positif dunia internasional terhadap Indonesia, semakin mendorong secara tidak langsung pertumbuhan asuransi di Indonesia. Logikanya, masuknya dana-dana asing ke Indonesia semakin meningkatkan transaksi ekspor-impor serta lalu laintas sektor finansial lainnya, Hal ini menyebabkan efek mengucur ke bawah, termasuk kepada sektor jasa keuangan asuransi berupa peningkatan premium asuransi umum dan jiwa yang membawa konsekuensi logis yaitu terbentuknya keseimbangan baru dalam pasar asuransi di Indonesia.
Kuatnya faktor fundamental ekonomi ini mendorong masuknya perusahaan asuransi asing dalam pasar asuransi di Indonesia. Banyak perusahaan asuransi lokal akhirnya menggaet asuransi asing baik dalam join venture atau dalam pola yang lain. Beberapa implikasi positif terkait kerjasama antara pemain asuransi lokal dan asing adalah meningkatnya pengetahuan pemain lokal seperti munculnya beberapa produk baru asuransi maupun pola mekanisme distribusinya, dan yang lebih penting lagi adalah semakin tumbuhnya peningkatan modal untuk mengisi pembangunan jangka panjang.
Memanfaatkan Mesin Pertumbuhan
Perkembangan ekonomi Indonesia dalam 5 tahun terahir tidak terlepas dari peran dan program yang dicanangkan oleh pemerintah melalui MP3EI (Masterplan Percepatan, Perluasan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia). MP3EI sampai saat ini dapat dianggap konsisten walaupun masih banyak proyek-proyek yang tidak tepat waktu dalam ground-breaking maupun completion-nya, namun secara keseluruhan pelaksanaan MP3EI di 6 koridor tetap dilaksanakan. Selama kurun waktu 201102014, pemerintah mencanangkan investasi di 6 koridor ekonomi sebesar Rp 4.000 triliun yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jawa masih menempati urutan pertama jumlah investasi, yaitu sebesar Rp 1,278 triliun, disusul oleh Sumatera sebesar Rp 714 triliun. Kalimantan menempati urutan ketiga dengan rencana investasi sampai tahun 2014 sebesar Rp. 945 triliun, kemudian disusul Sulawesi sebesar Rp 309 triliun dan Bali & Nusatenggara sebesar Rp Rp 133 triliun. Maluku dan Papua sebagai wilayah kepulauan paling timur Indonesia memiliki anggaran sebesar Rp 622 triliun. Total nilai investasi di 6 koridor ekonomi yang mencapai Rp 4.000 triliun diatas seyogianya melibatkan sektor jasa asuransi, baik umum maupun jiwa. Untuk ini industri asuransi harus berusaha mencari terobosan baru terkait pelaksanaan MP3EI yang tengah berlangsung dan mengkonsumsi kapital besar.
Memasuki tahun 2013, industri asuransi diperkirakan akan memasuki fase booming, di samping karena faktor pelaksanaan MP3EI maupun semakin meningkatnya rating investasi Indonesia di mata Internasional. Besarnya nilai investasi MP3EI yang tersebar di 6 koridor ekonomi Indonesia memerlukan jasa keuangan yang memadai, dan menjadi konsekuensi logis meningkatnya akumulasi modal di sektor perbankan dan lembaga keuangan di Indonesia. Hal ini akan berimplikasi semakin meningkatnya jasa asuransi baik jiwa dan umum ataupun turunannya seperti produk Unit Link yang mengambil peluang dari penempatan modal di perbankan.
Senada dengan pandangan dari berbagai lembaga keuangan dunia, laporan terbaru dari lembaga riset investasi dunia Mc Kinsey adalah mengenai peluang Indonesia sebagai negara terbesar ketujuh di dunia, setelah BRICs. Premis ini didasarkan pada asumsi sebagai berikut : Pertama, Mc Kinsey memperkirakan akan terjadi pertumbuhan yang signifikan terhadap kelas konsumen di Indonesia dari semula 45 juta pada tahun 2012 menjadi 135 juta pada tahun 2030. Hal ini dapat dilihat pada fenomena sehari-hari di kota kota besar di Indonesia, dimana pertumbuhan mall-mall selalu diikuti dengan tenants atau pengunjung yang semakin bertambah. Indikasi lainnya adalah pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia. Seperti data yang telah dirilis sebelumnya oleh Gaikindo bahwa permintaan sepeda motor tahun 2011 telah mencapai lebih 8 juta unit, sedangkan kendaraan roda dua hampir 900 ribu unit, artinya bangsa Indonesia memiliki kemampuan daya beli yang cukup besar seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang besar pula.
Selanjutnya Mc Kinsey memproyeksikan akan terjadinya migrasi penduduk ke kota yang pada saat ini mencapai 53% dengan output 74% dari GDP, menjadi 71% dengan 86% output dari GDP. Indikasi terhadap ini dapat dilihat dari semakin padatnya penduduik di kota – kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar.
Mc Kinsey juga memperkirakan akan terjadinya migrasi tenaga-tenaga terlatih (skilled labor) dari semula 55 juta pekerja menjadi 113 juta pekerja pada tahun 2030. Pertambahan jumlah pekerja terlatih akan semakin meningkatkan mutu dan masa depan bangsa.
Akhirnya Mc Kinsey memproyeksikan akan terjadi lonjakan terhadap permintaan pasar yang semula 0,5 Triliun US Dollar menjadi 1,8 triliun US Dollar, yang meliputi barang konsumsi, pertanian, perikanan, sumber daya alam dan pendidikan. Tidaklah berlebihan bila saat ini Indonesia merupakan satu negara yang masuk dalam G-20, karena dianggap berpengaruh penting dalam arah dan kebijakan politik, ekonomi maupun budaya dunia.
Sementara itu, berdasarkan survey yang dilakukan Global Intelligence Alliance (GIA), disimpulkan sekurangnya terdapat 10 pusat pertumbuhan yang ada diseluruh dunia mengikut pada skala dan jumlah industri yang ada. Tabel yang dikeluarkan oleh GIA menyebutkan Indonesia menduduki peringkat ketujuh, dengan skala kontribusi terhadap total perekonomian dunia sebesar 27%. Kontribusi ini di atas Meksiko, Turki, South Afrika dan Vietnam. GIA juga melakukan studi terhadap persepsi perusahaan besar diseluruh kawasan dan menyimpulkan bahwa preferensi perusahaan di Asia seperti China, Jepang dan Korea Selatan lebih memilih Indonesia sebagai destinasi investasi mereka karena beberapa pertimbangan seperti bahan mentah yang murah serta perijinan yang lebih kompetitif. Akhirnya GIA menyimpulkan bahwa Indonesia bersama South Afrika dipandang sebagai first layer, atau deretan pertama negara negara emerging country yang akan mewarnai perdagangan baik barang dan jasa di dunia di masa depan .
Yang menarik dari studi yang dilakukan oleh GIA adalah faktor geopolitik dan geografi Indonesia yang mirip dengan Afrika Selatan. Seakan mengulangi penjelajahan Sindbad atau Vasco da Gama, kemunculan kedua negara dengan bentang jarak yang jauh kembali mengingatkan akan kejayaan bangsa ini di masa lampau. Kedua negara juga diperkirakan akan menjadi destinasi pergerakan atau migrasi barang dan jasa serta modal ke kedua negara. Industri Asuransi sebagai salah satu penopang jasa keuangan bersama sektor perbankan harus mengambil langkah yang tepat untuk mengantisipasi peluang ini.
Bonus Demografi Indonesia
Faktor utama yang mendorong berkembangnya asuransi jiwa adalah keuntungan demografi dividen yang dimiliki Indonesia ketimbang negara negara lain di dunia yang tengah memasuki masa tua. Postur demografi Indonesia akan mengalami puncaknya di tahun 2030, dimana usia produktif (15 – 64 tahun) akan menopang kelompak usia non produktif.
Saat ini Indonesia menempati urutan negara keempat terbesar di atas permukaan bumi, setelah China dengan populasi 1,3 milyar penduduk, India dengan populasi 1,2 milyar jiwa dan Amerika Serikat yang berpenduduk 310 juta jiwa.
Dengan populasi sebesar lebih dari 240 juta jiwa, lebih dari 60% penduduk di bawah usia 39 tahun dan merupakan kelompok usia produktif. Ini menjadikan Indonesia secara demografi memiliki postur piramida yang kuat, apalagi dibanding negara-negara maju seperti Eropa dan Jepang, dimana sebagian kelompok negara ini telah memiliki piramida terbalik, artinya penduduk usia non-produktif lebih banyak dari kelompok usia produktif.
Asuransi Harus Ekspansi
Dunia asuransi tidak mengenal legacy akan kejayaan di masa lalu. Saat ini kita bisa melihat beberapa perusahaan asuransi yang mewarnai perekonomian Indonesia, seperti Prudential, Allianz, AXA dan beberapa asuransi lainnya. Keberhasilan perusahan-perusahaan ini dicapai karena keberhasilan sinergi antara kapitalisasi modal dan strategi jitu yang dilakukan manajemen perusahaan tersebut. Sebalikya bagi perusaan asuransi yang telah memiliki legacy sebagai perusahaan lokal harus berani melakukan transformasi serta koreksi total terhadap berkurangnya pangsa pasar yang telah digerus oleh perusahaan asing yang relatif baru.
Hubungan antara propensitas bencana alam di Indonesia dengan industri asuransi seperti dua mata pisau (double-edged of sword). Pertama, apakah terdapat kebijakan stimulus pemerintah berkaitan dengan mitigasi bencana berupa infrastruktur yang di cover dengan asuransi. Bencana tsunami di Aceh tahun 2004 maupun yang terjadi di Jepang tahun 2010 masih menjadi trauma bagi dunia asuransi bagaimana klaim yang bersifat masif terjadi secara tiba-tiba dan hampir saja melumpuhkan sektor asuransi. Kedua berkaitan dengan sindikasi pinjaman untuk infrasruktur dan proyek-proyek energi yang telah dan akan disetujui oleh pemerintah maupun swasta. Ketiga, berkaitan dengan menurunnya suku bunga pasar yang dimulai dengan semakin menurunnya BI rate. Ini agak dilematis, di satu sisi penurunan BI rate menunjukkan semakin efisiensinya intermediasi lembaga keuangan bank maupun non-bank, disisi lain penurunan BI rate semakin kompetitifnya industri jasa asuransi di Indonesia.
Perusahaan asuransi seharusnya memperluas ekspansi mereka dengan tetap memelihara prinsip kehati-hatian, khususnya dalam asuransi jiwa dimana produk berbasais investasi seperti Unit Link sebagai primadona. Krisis keuangan dunia 2008 menjadikan pelajaran berharga bagi para pemain asuransi terhadap resiko penempatan dana pada instrumen yang beresiko tinggi.
Akhirnya, penulis menekankan pentingnya industri asuransi melakukan analisis yang tajam terhadap keunggulan Indonesia dalam demografi dividen, pelaksanaan MP3EI yang membutuhkan investasi besar serta dukungan internasional akan keberhasilan Indonesia menjaga pertumbuhan ekonominya dalam dasawarsa terkahir. Terlebih lagi, dengan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai payung tertinggi industri asuransi dan jasa keuangandi Indonesia diharapkan mampu menjaga momentum pertumbuhan industri asuransi secara khusus dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.***
No Comments