Search and Hit Enter

Saat Jamsostek Bertransformasi Jadi BPJS

PENYELENGGARAAN jaminan sosial di Indonesia akan memasuki era baru mulai 1 Januari 2014. Hal ini ditandai lahirnya UU no. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). UU sebelumnya yang terkait dan menjadi rujukan diterbitkannya UU tersebut adalah UU no. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Yang menjadi dasar utama kedua UU tersebut adalah UUD Republik Indonesia tahun 1945 khususnya pasal 28 (H) dan beberapa pasal lainnya. Negara berkewajiban untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan diharapkan dengan penerapan jaminan sosial untuk semua, secara bertahap kita akan mencapai apa yang dicita-citakan para pendiri republik ini, yakni Negara Kesejahteraan (Welfare State).

Selama ini, sosialisasi tentang jaminan sosial masih terbatas. Pemahaman masyarakat dari setiap lapisan belum seragam hingga perlu dilakukan upaya massif, luas dengan frekuensi yang jauh lebih sering melalui berbagai media massa. Masih banyak masyarakat belum memahami sepenuhnya apa itu jaminan sosial, bahkan tidak bisa membedakan hakikat jaminan sosial dan perbedaannya dengan bantuan sosial. Pasal 1 butir 1 UU SJSN menyatakan bahwa Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.  Bentuk perlindungan atau proteksi sosial lainnya adalah bantuan sosial yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, didanai seluruhnya dari APBN dan pelaksanaannya dikoordinir Kementerian Sosial.

Transformasi  Jamsostek dan Askes

UU BPJS mengamanahkan bahwa akan dibentuk dua BPJS yakni BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Embrio BPJS Kesehatan adalah PT Askes Indonesia (Persero)  yang selama ini menyelenggarakan Jaminan Kesehatan untuk PNS Aktif dan pensiunan PNS maupun ABRI dan pensiunan Polri. Seperti diketahui, jaminan kesehatan untuk anggota ABRI dan POLRI yang masih aktif disediakan fasilitas pemeliharaan kesehatan, mulai dari poliklinik, dokter, optik dsb hingga rumah sakit. Dalam istilah asuransi, mekanisme seperti ini disebut self insured atau ditanggung sendiri, dimana Pemerintah menyediakan fasiltas pemeliharaan kesehatan melalui  Kementerian Pertahanan yang dilaksanakan  instansi Dinas Kesehatan masing-masing Angkatan Darat, Laut, Udara maupun POLRI.

Embrio BPJS Ketenagakerjaan adalah PT Jamsostek (Persero) yang selama ini beroperasi berdasarkan UU no. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Sejak 1977, Jamsostek telah menyelenggarakan 4 program jaminan sosial yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dan Jaminan Hari Tua (JHT). Pasal 69 UU BPJS menyatakan bahwa saat mulai beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan, UU no. 3 tahun 1992 di atas dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dalam UU yang baru tentang BPJS ini, PT Askes dan PT Jamsostek yang saat ini berbentuk PT Persero dan merupakan Badan Usaha Milik Negara, akan berubah bentuk badan hukumnya menjadi Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab kepada Presiden. UU ini juga mengatur fungsi, tugas, wewenang, hak dan  kewajiban BPJS.

Pengawasan atas BPJS dilakukan baik oleh internal maupun eksternal. Pengawasan eksternal dilaksanakan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Lembaga Pengawas Independen. Interprestasi penulis yang dimaksud dengan Lembaga Pengawas Independen antara lain adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dibentuk berdasarkan UU no. 11 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Substansi penting lain dari UU BPJS seperti dinyatakan dalam ketentuan peralihan adalah program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) yang selama ini diselenggarakan oleh Jamsostek. Setelah BPJS Kesehatan mulai beroperasi, JPK harus diserahkan  kepada BPJS Kesehatan. Pengalihan ini, salah satu masalah krusial dan harus ditangani sebaik-baiknya untuk memitigasi setiap risiko yang mungkin timbul dan agar dapat berjalan dengan lancar. Setelah menyerahkan program JPK kepada BPJS Kesehatan, Jamsostek yang berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan hanya menyelenggarakan 3 program jaminan yaitu Kecelakaan Kerja, Kematian dan Hari Tua.

Pada 1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan harus sudah siap menyelenggarakan satu program lagi yaitu Jaminan Pensiun (JP). Penyelenggaraan program  JP ini merupakan masalah krusial lain yang harus ditangani dengan baik. Hal ini mengingat sejak puluhan tahun lalu program Dana Pensiun sudah diselenggarakan tidak kurang dari 150 Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) maupun Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) yang merujuk pada UU no. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.

Dua penyelenggara lain, yakni PT Taspen dan PT Asabri, hingga tahun 2029 akan tetap beroperasi seperti saat ini. Bentuk badan hukum mereka juga akan tetap yaitu sebagai BUMN yang tunduk pada UU tentang Perseroan Terbatas maupun UU tentang BUMN. Kemungkinan perubahan kedua penyelenggara ini akan tergantung pada situasi dan kondisi, termasuk kondisi politik menjelang 2029.

Sosialisasi dan Partisipasi

Dalam masa transisi dari saat ini hingga awal tahun 2014 bagi PT Askes dan hingga medio 2015 bagi PT Jamsostek, banyak hal yang harus dilakukan dan dipersiapkan.

Tantangan awal yang harus diantisipasi oleh kedua embrio BPJS, adalah partisipasi dalam penyiapan draft ketentuan perundangan sebagai nara sumber yang saat ini telah disusun Dewan Jaminan Sosial Nasional dan dibicarakan dalam rapat koordinasi antar kementerian /lembaga.  Kementerian Kesehatan menugaskan Wakil Menteri untuk menyiapkan secara menyeluruh ketentuan perundangan terkait Jaminan Kesehatan dan pembentukan BPJS Kesehatan. Kementerian Tenaga Kerja menugaskan Sekjen Kemenakertrans untuk mengkoordinir ketentuan juklak terkait BPJS Ketenagakerjaan. Jamsostek dan Askes harus aktif memberikan masukan dalam penyusunan draft. Bukan untuk memasukkan kepentingan sektoral, namun untuk menjamin bahwa setiap juklak akan dapat diimplementasikan dengan baik. Kemungkinan semua juklak tersebut akan di-review oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulator BPJS merangkap Lembaga pengawas independen sebelum diterbitkan.

Sosialisasi menjelang 1 Januari 2014 merupakan tantangan yang tidak kalah pentingnya kepada semua pemangku kepentingan. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa masih banyak yang belum paham mengenai substansi jaminan sosial terkait dua UU jakni UU SJSN dan UU BPJS. Koordinasi di antara embrio BPJS dan Kementerian Teknis maupun regulator perlu dilakukan agar tercapai efektifitas serta tidak ada tumpang tindih. Dalam hal ini peranan Kementerian Komunikasi dan Informatika sangat diharapkan proaktifnya.

Selama ini program jaminan sosial bagi tenaga kerja telah dilaksanakan PT Jamsostek (Persero) sejak tahun 1977. Rasio kepesertaan program Jamsostek hingga saat ini masih jauh panggang dari api.  Hingga tahun 2011, jumlah tenaga kerja sektor formal berdasarkan olahan data BPS mencapai 41 juta orang termasuk PNS/ABRI/POLRI. Potensi kepesertaan program Jaminan Sosial yang diselenggarakan PT Jamsostek diperkirakan sekitar 36 juta orang. Namun demikian, di tahun yang sama, 2011, kepesertaan Jamsostek baru mencapai 10,3 juta orang untuk peserta aktif, atau sekitar 29% dari populasi pekerja. Bila ditambah dengan pekerja sektor informal yang mencapai 68 juta orang, rasio itu semakin kecil. Hingga saat ini jumlah peserta Jaminan Sosial di sektor informal tidak lebih dari satu juta orang.

Dari segi jumlah perusahaan, yang menjadi peserta aktif hanya sekitar 154 ribu perusahaan dari potensi di atas 300 ribu perusahaan. Patut dicatat bahwa mayoritas perusahaan besar dengan kategori jumlah karyawan di atas 500 orang, praktis sudah mendaftarkan pegawainya sebagai peserta Jamsostek walaupun tidak semua pegawai berstatus outsourcing mereka sertakan dalam program.

Ke semua ini menjadi tantangan besar, apalagi hal-hal yang berada  di luar kendali Jamsostek, seperti kepesertaan pegawai outsourcing di atas. Kelak, jika BPJS Ketenagakerjaan beroperasi, harus ada persiapan secara menyeluruh, mencakup sistem informasi data, nomor identitas tunggal yang sementara bisa mengacu pada NIK/KTP Elektronik, dan perbaikan sistem secara keseluruhan.

Perlunya Penegakan Hukum

Hal lain yang tak kalah penting dalam penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan, namun selama ini di luar kewenangan Jamsostek adalah upaya penegakan hukum terhadap perusahaan pemberi kerja yang abai terhadap jaminan sosial tenaga kerjanya. Perlu dilakukan terobosan drastis yang terkait ketentuan perundangan, yang memberikan kewenangan kepada BPJS Ketenagakerjaan – seperti yang juga dipraktekkan di semua negara lain, untuk dapat menegakkan aturan dan mengenakan sanksi yang bukan hanya sanksi administratif  belaka. Memang hal ini sangat rumit karena dibatasi oleh KUHAP yang memberikan kewenangan penyidikan hanya kepada aparat PNS selain POLRI.

Penulis berpendapat, selama ketentuan perundangan dibuat oleh kita sendiri, dengan niat dan itikad baik tentunya bisa saja kita perbaiki dan ubah demi mewujudkan rasio kepesertaan jaminan sosial yang mendekati ideal, paling tidak 90%, termasuk untuk pekerja sektor informal yang notabene paling membutuhkan jaminan sosial.

Upaya yang dilakukan Jamsostek sejak 2008 dengan mencoba menciptakan kebutuhan jaminan sosial (needs driven) melalui sosialisasi, promosi, iklan dsb terbukti tidak efektif. Upaya sosialisasi dapat tetap dilaksanakan oleh BPJS Ketenagakerjaan, namun jika ingin lebih efektif memperluas kepesertaan, tidak ada jalan lain kecuali melalui penegakan aturan dan pengenaan sanksi yang akan membuat pihak yang bertanggung jawab menjadi jera alias kapok.

Pelanggaran yang masih saja dilakukan oleh perusahaan pemberi kerja yakni understatement jumlah tenaga kerja dan upah wajib digilas habis. Salah satu strategi untuk meminimalisir pelaporan upah yang dibawah realitas adalah dengan menerapkan “cap” atau batas upah maksimal. Hal ini juga untuk menjaga aspek kesetaraan dalam manfaat, baik untuk JKK maupun JHT, sehingga terjadi keseimbangan dan loss ratio yang selama ini di bawah 50 % akan naik sesuai prinsip nirlaba, dana amanat serta last but not least bagi perusahaan pemberi kerja yang membayar iuran.

Penyempurnaan Sistem dan Layanan

Prasyarat mutlak aspek internal untuk bisa memperluas kepesertaan jaminan sosial oleh BPJS Ketenagakerjaan adalah penyempurnaan sistem/data kepesertaan. Tanpa perbaikan menyeluruh, omong kosong kepesertaan dapat diperluas hingga mencapai angka ideal minimal. Harus diakui data kepesertaan Jamsostek saat ini masih banyak yang harus diperbaiki walau upaya ini telah dilakukan sejak 2010 yang lalu. Kepesertaan tidak aktif, nomor kepesertaan ganda, peserta yang belum mencairkan dana JHT-nya, dsb, merupakan persoalan yang harus dituntaskan dalam masa transisi menjelang 2014.

Selain peningkatan kepesertaan yang merupakan tugas paling berat dan uncontrollable bagi Jamsostek (dan juga bagi BPJS Ketenagakerjaan kelak), peningkatan manfaat juga merupakan tantangan berat yang lain. Dalam beberapa tahun terakhir Jamsostek cukup berhasil meningkatkan manfaat besarnya jaminan untuk JKK, JKM, JPK maupun JHT. Manfaat tambahan juga harus diupayakan untuk ditingkatkan dan diperluas sehingga lebih banyak peserta yang dapat menikmatinya seperti pembangunan rumah susun sejahtera untuk buruh dengan pendapatan disekitar UMP, pinjaman uang muka perumahan dsb. Penulis berpendapat program yang memberikan manfaat tambahan ini wajib dilanjutkan setelah BPJS Ketenagakerjaan beroperasi penuh. Hal ini untuk mendukung program perumahan yang sampai kini masih terjadi kekurangan (back log) jutaan unit rumah.

Variasi manfaat yang telah disediakan oleh Jamsostek selama ini yakni manfaat jaminan, manfaat pelayanan, manfaat finansial maupun manfaat tambahan seperti tersebut di atas wajib ditingkatkan dari waktu ke waktu. Khusus untuk manfaat finansial yakni imbal hasil JHT, ketentuan yang mengatur investasi yakni PP no. 22 tahun 2004 perlu dipertahankan dan tidak dipersempit dengan catatan tetap hati hati-hati (prudent). Selama ini imbal hasil JHT selalu diatas bunga deposito ataupun tabungan. Peningkatan manfaat seperti yang telah diuraikan di atas menjadi salah satu faktor penentu juga untuk meningkatkan kepesertaan.

Peningkatan lainnya yang tidak kalah menantang bagi BPJS Ketenagakerjaan adalah peningkatan mutu layanan. Menjadi “customer centric agency” wajib dipersiapkan oleh Jamsostek dalam masa transisi dan dilanjutkan setelah menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Selain sistem, penyiapan prasarana fisik seperti gedung kantor pelayanan, kerjasama dengan perbankan dan sebagainya. Yang tidak kalah penting juga adalah penyiapan SDM tidak hanya  front liner namun juga karyawan back office.

Manajemen Risiko dan GCG

Faktor penting lainnya yang merupakan tantangan ke depan adalah penerapan manajemen risiko yang tidak hanya mencakup risiko investasi namun juga risiko operasional. Risiko operasional adalah yang terkait dengan sistem, SDM dan aset sehingga ketiga masalah ini harus dikelola dengan sebaik-baiknya. Kegagalan mengelola risiko operasional dapat berakibat pada risiko reputasi yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik khususnya peserta.

Selama ini Jamsostek telah berhasil menerapkan manajemen risiko dengan baik termasuk dalam penerapan Good Corporate Governance. Sebagai perusahaan ber-assets Rp. 116 Trilyun akhir tahun 2011 dan diperkirakan di atas Rp. 130 Trilyun akhir tahun 2012, penerapan kehati-hatian dalam pengelolaan perusahaan maupun upaya penerapan manajemen risiko yang proper serta implementasi GCG menjadi syarat mutlak. Orientasi sebelumnya yang menitikberatkan pada aspek komersial yakni profitabilitas, wajib dikesampingkan.

Ukuran peningkatan yang telah dikemukakan di atas mutlak dijadikan Key Performance Indicator (KPI) oleh internal perusahaan/badan maupun regulator untuk menilai kinerja keberhasilan BPJS Ketenagakerjaan. Kinerja keuangan yang baik harus dipertahankan dan dapat dijadikan pijakan yang kokoh untuk menjadi perusahaan terpercaya. Termasuk pemberdayaan Komite Integritas yang telah di mulai sejak 2010.***

(Dari Buku “Asuransi Buat Apa, Mari Berdamai dengan Risiko”, Diterbitkan KUPASI – Gagas Bisnis Indonesia, 2012)

No Comments

Leave a Reply

Scroll Up