Saat itu tahun 2008, umurku masih 8 tahun. Aku ingat betul tahun itu permainan berbasis teknologi seperti PS (Playstation) dan game komputer begitu populer. Setiap hari kalau dikasih uang jajan pasti disisakan untuk rental warnet atau rental PS. Saat itu aku begitu ketagihan bermain PES (Pro Evolution Soccer), apalagi kalau hari minggu sengaja bangun pagi untuk booking satu hari penuh di rental PS.
Lucunya lagi kalau ditanya cita-cita, aku selalu menjawab ingin pergi ke Neptunus. Yang aku bayangkan dewa-dewa dalam mitologi nordik tinggal di Neptunus. Kalau dipikir-pikir sekarang aneh sekali. Tapi sekarang sering terbayang dan terpikir, ternyata masa kecil itu sungguh asyik dan penuh imajinasi. Penuh dengan pemikiran yang simpel dan kehidupan yang ringkas.
Dulu aku tinggal di kota kecil bernama Belitang provinsi Sumatera Selatan, yang notabene jauh dari bayang-bayang dan imajinasi kota besar. Konsep-konsep hidup di sana melekat kepada kami beserta seluruh keluarga besar kami dan memang tidak serumit konsep hidup di kota besar seperti Jakarta.
Salah satu yang utama yaitu kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan tujuan mutlak bagi masyarakat di sana. Hal ini mirip dan selaras dengan pandanganku ketika aku masih kecil. Semua akan menjadi lebih ringkas, penuh makna dan bahagia tentunya. Namun tidak bisa dipungkiri kita perlu melihat hal-hal lain yang sifatnya nyata bisa terjadi. Seperti kematian, kehilangan pekerjaan, gaya hidup, dan juga pendidikan.
Ayahku anak keempat dari delapan bersaudara. Anak ketiga dari kakekku bekerja di Palembang sebagai Polisi Kehutanan, namanya Pakde Adan. Istri dari Pakde Adan namanya Tante Sari bekerja sebagai agen Asuransi. Orangnya baik dan sangat perhatian terhadap keluarga. Aku ingat sekali setiap bertemu tante Sari pasti ditanya, “Richad, gimana kamu juara berapa semester ini ?” Kalau aku juara 1 akan mendapatkan THR lebih, ini merupakan salah satu bentuk perhatian yang aku maksud.
Pertama kali aku tahu asuransi dari tante Sari. Bahkan ayahku membeli produk asuransi pendidikan untukku dan adikku melalui tante Sari juga. Adopsi asuransi pada keluarga besar kami melalui proses yang panjang dan penolakan, apalagi untuk asuransi jiwa. Terutama kakak tertua dari ayah, bude Sulis, yang berpendapat asuransi jiwa merupakan spekulasi terhadap ekspektasi kematian. “Saya loh ndak mau suamiku mati cepet,” bude Sulis selalu berpendapat demikian. Bude Sulis keukeuh berpendapat bahwa dia tidak mau berharap suaminya meninggal untuk mendapatkan benefit dari pihak asuransi.
Sampai pada akhirnya tragedi itupun terjadi! Tepat waktu aku libur kenaikan kelas, Juli 2009 pakde Har, suami bude Sulis, meninggal dunia. Tentu ini menjadi pukulan yang mendalam bagi keluarga kami terutama bagi Bude Sulis dan tiga anaknya. Terlebih anak pertamanya mas Arka yang masih duduk di bangku kelas satu SMA, yang tentunya ke depan perlu biaya untuk pendidikannya. Selain itu, almarhum pakde Har juga menjadi sumber pemasukan utama bagi keluarganya.
Semenjak saat itu, bude Sulis terpaksa meninggalkan ketiga anaknya untuk bekerja di luar kota. Yang aku bayangkan pada waktu itu adalah anak kedua bude Sulis yang usianya tidak jauh dariku, sangat berat tentunya bagi dia untuk menghadapi musibah tersebut.
Semenjak kejadian tersebut keluarga besar kami mulai terbuka dengan asuransi, terutama asuransi jiwa yang sebelumnya banyak ditentang oleh keluarga kami. Musibah ini menjadi pembelajaran yang mendalam bagi keluarga kami dengan membeli asuransi.
Pada dasarnya dalam konteks kejadian ini, asuransi merupakan upaya untuk melindungi individu maupun keluarga yang ditinggalkan dari efek kerugian finansial. Mengapa demikian? Karena dengan kehilangan sosok ayah, kita juga berpotensi kehilangan sumber pendapatan utama bagi keluarga. Asuransi menghilangkan ketidakpastian dengan mentransfer konsekuensi keuangan yang tidak diketahui dari suatu kerugian kepada perusahaan asuransi. Keamanan ini berasal dari membayar perusahaan asuransi dengan sejumlah uang yang disepakati atau premi.
Mungkin sebagian orang berpikir: sebagian besar jenis asuransi bersifat opsional, jadi mengapa membelinya? Dengan kata lain kita bisa menaruh uang di bank atau kelas aset yang lain daripada membayarnya ke perusahaan asuransi. Anggaplah seperti ini, almarhum pakde Har perlu membiayai kebutuhan keluarganya 12 juta per bulan selama 20 tahun mendatang, lalu bisakah kita menabung sehingga cukup untuk menutupi potensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 3 miliar ketika musibah itu terjadi? Tentu cukup sulit.
Lalu mengapa keluarga kami sangat membutuhkan asuransi? Kondisi pada keluarga kami didasari oleh kondisi ketika kita meninggal dunia, ketika kita jatuh sakit, ketika kita tidak dapat bekerja lagi, dan ketika anak-anak kita siap untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi, tentu saja kita bertanggung jawab dan harus mempersiapkan untuk kebutuhan finansial itu. Oleh karena kondisi tersebut, keluarga kami sangat terbuka dan mengadopsi asuransi.
Sejatinya, ini bukan tentang jumlah aset yang Anda miliki, ini bukan tentang pekerjaan apa yang Anda lakukan, tetapi didasarkan pada satu variabel yaitu penghasilan. Mengingat segala sesuatu yang Anda lakukan dalam hidup didasarkan pada gaya hidup, makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang tentunya bersandar pada satu tumpuan, yaitu penghasilan.
Semua ini bukan tentang kita, tapi ini merupakan upaya tanggung jawab kita terhadap orang yang kita kasihi yaitu anak, suami, istri dan seluruh keluarga kita.
Semoga Tuhan menghendaki semua niatan kita untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga. Amin. ***
(Artikel ini bagian dari program “Bulan Menulis Asuransi” dalam rangka Hari Asuransi 2022)
Mahasiswa semester akhir, Universitas Prasetiya Mulya, Jurusan Bisnis Matematika.
No Comments